Gaya hidup : Hustle Culture memang sudah menjadi suatu gaya hidup yang dimana seseorang diharuskan untuk bekerja terus menerus kapanpun dan tidak mempedulikan hari libur. Hal tersebut terjadi karena mungkin saat seseorang bekerja keras, dia merasa puas dan akan merasa untuk bisa lebih cepat sukses kedepannya.Sementara itu, untuk orang yang lebih banyak rebahan itu diasosiasikan dengan malas, dan mereka menganggap bahwa menjadi seorang pemalas tidak akan membuat mereka sukses. Seseorang yang memiliki gaya hidup seperti melakukan keramaian terus menerus, hal tersebut tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan.
Sebagai contoh yang sering kita temukan antara lain saat makan pun, tidak bisa jauh dari laptop atau yang multitasking. Selain itu saat berlibur, mereka juga akan terus bekerja kapanpun dan dimanapun, tidak peduli walaupun sedang berlibur.
Pola pikir yang seperti ini biasanya dapat membuat mereka yang terlihat bekerja terus menerus akan merasa bangga terhadap dirinya sendiri. “Aku tuh cuma tidur 4 jam, deadline juga banyak yang numpuk, harus banyak kopi nih, kurang tidur banget”, begitulah kira-kira pola pikir mereka.Fenomena ini bisa dibilang terjadi pada saat zaman Start-Up, zaman ketika kewirausahaan terutama di kalangan anak muda. Hal tersebut membuat sebagian orang bahkan anak muda mulai terobsesi ingin seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan tokoh-tokoh sukses lainnya.
Elon Musk juga pernah membuat pernyataan pada laman twitternya dan berkata bahwa seorang yang hanya bekerja 40 jam per minggu tidak akan mengubah dunia, kita mencintai apa yang kita lakukan selama hal tersebut bahkan tidak akan terasa seperti pekerjaan.
Apakah kalian setuju dengan hal tersebut?
Adapun permasalahan-permasalahan mengenai gaya hidup yang dihadapi oleh seorang keramaian ini antara lain :
1.Hustle Culture memaksa kita untuk multitasking yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang sedang maupun akan dilakukan
2.Kebanyakan melakukan suatu pekerjaan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap seperti penyakit hipertensi, penyakit jantung, diabetes, sampai permasalahan pada sistem metabolisme bahkan dapat menjadi pemicu depresi Dengan adanya budaya hiruk pikuk ini membuat nilai manusia seolah-akan hanya diukur dari kesuksesan finansial saja atau pekerjaan. Padahal selain hal tersebut juga terdapat nilai-nilai penting lainnya seperti bagaimana hubungan kita dengan orang-orang terdekat dan hubungan kita dengan alam serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Selama pandemi atau melakukan segala sesuatu di rumah aja, banyak sekali orang yang terobsesi terhadap produktivitas. Produktivitas juga sering terjadi disalah artikan bahwa untuk produktivitas, kita diharuskan untuk melakukan banyak aktivitas dalam sehari dan meminimalkan waktu istirahat.
Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), produktivitas adalah seberapa efisien input produksi yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu. OECD menemukan bahwa, bekerja dalam waktu yang lama justru dapat mengurangi tingkat produktivitas.
work keras tidak selalu berarti bahwa bekerja dengan efisien. Apalagi kalau kita melakukan suatu pekerjaan dengan cara multitasking, tidak fokus, dan terdapat gangguan dari luar seperti notifikasi sosial media, dan yang lainnya.
Bagaimana dampak hal tersebut terhadap milenial? Generasi milenial adalah yang bisa dibilang generasi workaholic yang sering mengalami burnout.
Mengapa sih kita harus bekerja terus menerus?. Ibaratnya kita sedang berada di hutan, dan kita akan melakukan apapun untuk bertahan hidup, iya kan?.
Hustle Culture adalah salah satu buah dari permasalahan sistematis. Apakah sistematis ini di kemudian hari akan hilang? Kita tidak akan pernah tahu hal tersebut.