Bisnis Teknologi Finansial Tumbuh Disaat Pandemi Covid-19 : Kemajuan teknologi membuat banyak platform baru bermunculan, salah satunya adalah financial technology atau fintech. Bisnis di bidang fintech berkembang sangat pesat karena kebutuhan akan produknya sangat tinggi. Dari perusahaan fintech lokal sampai luar negeri berlomba-lomba menawarkan produknya di Indonesia.
Kemudahan dan kecepatan dalam menggunakan atau mendapatkan produknya menjadikan fintech diminati masyarakat dan pebisnis, khususnya pebisnis kecil dan menengah.
Bisnis teknologi finansial tumbuh berkat kepercayaan yang baik pada industri ini. Pemerintah memberikan dukungan. Ekonomi digital bisa mendongkrak ekonomi nasional 10 persen.
Sebagian besar bidang usaha babak belur, terkontraksi berat atau bahkan ambruk oleh badai corona. Hanya kecil sebagian kecil yang lolos dan terus bertahan. Di antara daftar pendek penyintas itu, bisnis jasa keuangan elektronik yang dikenal dengan teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech) ada di dalamnya.
Bisnis tekfin mampu bertahan di tengah amukan wabah Covid-19 ini, bahkan cenderung tumbuh. Pandemi telah melahirkan krisis ekonomi global, setelah banyak negara melakukan langkah karantina wilayah atau lockdown. Di Indonesia diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Arus manusia dan barang sangat terbatas. Kegiatan ekonomi jauh melambat.
Situasi ini meningkatkan permintaan, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), akan pinjaman berbasis online. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia.
Fenomena ini direspons oleh investor dengan menempatkan dananya di fintech lending Indonesia. Ada arus dana bergerak. Tren itu diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dana asing tersebut kebanyakan disalurkan dalam bentuk peminjam UMKM di Indonesia.
Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, jumlah pemberi pinjaman luar negeri pada April 2020 tercatat 1.028 entitas. Adapun total outstanding pinjaman yang disalurkan oleh lender asing mencapai Rp4,68 triliun.
OJK juga mencatat hingga April 2020 muncul 3.837 rekening lender asing, naik 37% dibandingkan April 2019. Ini menjadi konfirmasi bahwa lender asing masuk ke Indonesia karena industri ini masih menarik. Industri fintech P2P (peer to peer) lending berkembang dengan potensi borrower yang besar. Selain itu, ada faktor kepercayaan yang baik pada industri baru ini.
Sebagai gambaran, total outstanding pinjaman P2P lending hingga April 2020 senilai Rp13,75 triliun. Nilai itu tumbuh 67% year on year (yoy) dibandingkan April 2019 senilai Rp8,22 triliun.
Tidak bisa dipungkiri, sejak merebak pandemi Covid -19 yang berdampak pada keringnya likuiditas, tekfin semakin berkembang dan makin diminati masyarakat.
Berbeda dengan layanan keuangan konvensional, yang prosedurnya panjang dan ribet, tekfin lebih mudah diakses masyarakat. Tak pelak lagi, tekfin pun cepat menjadi alternatif sumber pembiayaan. Ketergantungan atas layanan bank tidak lagi menjadi absolut.
Didukung Populasi
Indonesia menjadi incaran investor global karena dinilai sebagai pasar yang potensial dan menjanjikan. Ada penduduk yang besar, pengguna smartphone yang aktif, dan didukung sarana telko yang memadai. Menurut CEIC Data Co.ltd, McKensey and Co & Statica, populasi ponsel saja mencapai 371 juta unit dan itu jauh melampaui jumlah penduduk. Artinya, banyak warga yang mengoperasikan dua atau tiga ponsel sekaligus. Sementara itu pengguna mobile internet juga besar, mencapai 76 juta.
Bukti masih tertariknya investor asing ke Indonesia adalah pengucuran dana dari Facebook dan PayPal untuk PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, pemilik merek usaha Gojek mengumumkan bahwa Facebook dan PayPal resmi menjadi investor di dalam penggalangan dana perseroan putaran terbaru awal Juni 2020.
Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengonfirmasikan bergabungnya Facebook dan PayPal sebagai investor, menyusul Google dan Tencent. Mereka siap mendukung Gojek dalam misi mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara, dengan fokus pada layanan pembayaran dan keuangan.
Sebelumnya, sejumlah pemodal asing juga sudah masuk ke Indonesia. Sebut saja Ant Financial (Alipay)—perusahaan yang bergerak di platform pembayaran berbasis online dari Grup Alibaba milik Jack Ma—ke negara ini.
Mereka menggandeng grup korporasi Elang Mahkota Teknologi (EmteK) meluncurkan dompet digital bernama Dompet Digital Indonesia (Dana). EmteK merupakan kerajaan bisnis yang didirikan oleh Eddy Kusnadi Sariaatmadja. Divisi yang paling terkenal dari EmteK adalah stasiun televisi SCTV-Indosiar-nya.
Begitu juga dengan Tokopedia—perusahaan layanan e-commerce–yang mendapatkan tambahan modal senilai USD1 miliar, atau setara dengan Rp14,6 triliun dari Softbank, perusahaan asal Jepang bulan lalu. Tokopedia yang ditaksir memiliki valuasi USD7 miliar atau setara Rp102,2 triliun itu juga mulai masuk ke layanan pembayaran dari semula layanan e-commerce.
Kini, industri tekfin di Indonesia telah tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Bayangkan, menurut data Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), terdapat 235 perusahaan yang bergerak di tekfin. Dari jumlah itu, menurut Aftech, sebanyak 39% berupa layanan tekfin pembayaran. Tekfin pembayaran seperti e-money, e-wallet, pembayaran melalui kode QR (quick response), hingga sistem mutasi dan pelaporan yang real time.
Selain pembayaran, tekfin pinjam-meminjam (peer to peer lending) juga makin banyak diminati. Menurut data Aftech, pelaku layanan ini kini telah mencapai 32% dari total pelaku di industri tekfin.
Tak dipungkiri inovatif adalah kata kunci. Bagi perusahan yang tidak inovatif, ibarat tinggal menunggu kematian. Kemajuan teknologi dan perubahan perilaku pelanggan, sudah pasti menuntun perusahaan untuk terus melakukan perubahan.
Sinyal positif lain ditunjukkan melalui respons masyarakat. Mereka cepat beradaptasi dalam menerima layanan tekfin yang semakin komprehensif. Respons cepat itu terutama dari warga urban yang selama ini sudah akrab dengan layanan perbankan digital.
Fakta-fakta tersebut mempertegas potensi pasar Indonesia. Pemerintah, melalui otoritas moneter dan jasa keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), secara aktif mendukung layanan keuangan digital. Di antaranya, melalui Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) sebagai jalan membentuk cashless society.
Layanan tekfin telah menjadi satu dari sekian banyak bentuk revolusi digital dunia. Fenomena yang terjadi di Indonesia pun telah diikuti kesiapan pasar dalam mengadopsi layanan ini, dengan sejumlah layanan dan variannya. Namun, tak bsa dipungkiri, layanan tekfin tetap ada kekurangannya. Misalnya, banyaknya pengaduan berkaitan layanan fintech peer-to-peer, yang bunganya ekstrem tinggi, dengan cara penagihan yang bagaikan teror digital. Banyak nasabah merasa dirugikan, dipermalukan, dan ditekan di luar takaran. Aduan yang masuk mencapai 1.330 kasus.
Terlepas masih ada persoalan moral di industri ini, yang tentunya perlu terus dilakukan perbaikan, keberanian pemerintah mengembangkan dan memberikan peluang tumbuhnya industri tekfin, patut diapresiasi. Tentu, para pemangku kepentingan termasuk OJK sebagai pengawas, perlu bertindak dan memberikan jaminan bahwa bisnis ini bisa dijalankan tanpa melecehkan nilai-nilai sosial masyarakat.
Pemerintah sendiri menyakini, industri tekfin mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ekonomi bangsa ini. Diperkirakan, hingga 2025, ekonomi Indonesia terdongkrak 10% melalui aktivitas ekonomi berbasis digital.